Rebi – Laut Arafuru – Tabarfane – Laut Arafuru – Dobo
Pukul 5 pagi, alarm HP membangunkanku dari mimpi yang sama seperti hari kemarin, yaitu bermimpi tidur di kamar rumahku di Bandung. Mungkin, pikiranku belum terbiasa untuk beristirahat di tempat yang sangat jauh dari rumah.
Hari itu hari ketiga kami di desa Rebi. Hujan cukup deras sejak pukul 3 pagi membuat bangun tidur menjadi hal yang cukup sulit untuk dilakukan. Setelah shalat subuh, aku kembali tidur karena desa masih gelap gulita. Maklum, tempat itu belum tersambung listrik 24 jam.
Denting lonceng gereja pagi itu membuatku terbangun lagi. Hari itu hari minggu, hari dimana masyarakat kampung protestan melakukan ibadah rutin. Diluar masih hujan, tetapi sudah tidak terlalu deras. Langit kala itu gelap, menutupi matahari pagi dan menciptakan suasana yang membuatku tidak ingin beranjak dari rumah.
Untuk mengisi waktu, hal selanjutnya yang kulakukan adalah membaca buku “Murder On The Orient Express” yang akhirnya tamat sejak tiga bulan lalu. Saat sampai di lembar terakhir, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Berarti, sudah tiga jam aku membaca.
Setelah itu, aku pergi ke ruang makan. Disana sudah tersaji makanan yang dimasak oleh Darien dan kawan-kawan yang mendapat piket memasak hari itu. Alunan syahdu nyanyian ibadah dari gereja menemani kami bersantap pada pagi itu.
Setelah ibadah jemaat dewasa selesai, kami memulai rencana kami hari itu. Rencana kami adalah kembali ke ibukota. Hal ini harus kami lakukan karena ada masalah dengan perizinan. Rasanya cukup sedih karena baru tiga hari kami menetap di desa Rebi. Rencana hari itu adalah pergi ke Tabarfane, cari kapal, lalu pergi ke ibukota pulau-pulau aru, Dobo.
Ternyata, kapal baru siap pada sekitar pukul sebelas. Kapal yang akan mengantarkan kami ke Tabarfane adalah kapal bung Alo, seorang mantri di desa Rebi. Ukurannya kapalnya cukup besar, kira-kira dapat memuat sekitar dua puluh orang. Terlihat dari luar kapal itu sudah cukup tua. Jalannya sangat lambat jika dibandingkan speedboat polres yang aku dan Fajar gunakan tiga hari yang lalu. Dengan kapal ini, perjalanan sampai Tabarfane kira-kira memakan waktu 3-4 jam.
Perjalanan saat itu terasa lebih damai. Mabuk lautku sudah tidak terasa, mungkin karena seteguk air laut yang kuminum sebelum kapal itu beranjak pergi dari pantai Rebi. Lautan Aru kali itu cukup bersahabat karena ombaknya tidak terlalu besar sehingga kapal terasa lebih stabil. Hembusan angin laut disertai suara mesin diesel yang memecah keheningan menemani kami sepanjang perjalanan. Serta, pemandangan lautan tak berujung di sisi barat dan barisan kepulauan Aru di sisi timur menjadi pemanis yang sempurna kala itu.
Aktifitas para ekspeditor saat itu berbeda beda. Arya yang duduk didepan terkadang sibuk dengan kameranya, Basil dan Abdur duduk di samping kiri sambil memandang laut, Githa ditengah mendengar musik dari HPnya, Mada tertidur di sisi kanan, Jihan di kabin tertidur juga, dan Fajar di kursi belakang, duduk bersama kak Yoga sang kapten kapal serta kak Kule dan kak Ian. Sedangkan aku duduk didalam kabin dengan pelampung sebagai alas dan carrier sebagai bantal untuk berbaring. Terkadang, saat bosan aku mengeluarkan kamera untuk mendokumentasikan perjalanan.
Dua jam berlalu, desa Tabarfane masih belum terlihat. Pemandangan kearah kepulauan Aru saat itu hanya pantai dan hutan belantara. Karena tidak ada kegiatan lain yang dapat dilakukan, bosan dan kantuk pun terasa. Semilir angin laut membuat rasa kantuk semakin kuat. Didalam kabin itu, akupun tertidur.
“Jek bangun udah deket” sahut salah seorang ekspeditor saat kapal sudah sampai di laut seberang desa Tabarfane. Aku pun terbangun disambut oleh pemandangan desa Tabarfane yang sudah didepan mata. Saat itu langit sudah tidak mendung dan cuaca cukup cerah.
Desa Tabarfane terlihat jauh lebih ramai daripada desa Rebi. Banyak kapal nelayan yang singgah disini, mulai dari yang sebesar kapal cepat sampai sekecil sampan. Dermaganya banyak dan terisi penuh dengan kapal yang tertambat disana. Letak desanya berhadapan dengan laut, tidak seperti Rebi yang berada di muara sungai. Laut disini jernih sampai kami dapat melihat ubur-ubur yang berenang melewati kapal.
Sesampainya di dermaga, kami diantar oleh kak Yoga untuk bertemu dengan ibu sekretaris desa Tabarfane. Kondisi desa Tabarfane sangat rapih dan bersih seperti desa Rebi. Bedanya disini sudah ada pasokan listrik 24 jam dari pemerintah. Tetapi sayangnya disini tidak ada sinyal telepon sama sekali.
Kami diantar sampai rumah ibu sekretaris desa. Oleh ibu sekretaris, kami disambut dengan ramah. Disana, kami mengurus izin kecamatan yang harusnya sudah kami urus beberapa hari yang lalu.
Setelah urusan perizinan selesai, kami pun mencari kapal yang bisa digunakan untuk pergi ke Dobo. Ibu sekretaris desa ikut membantu dengan bertanya ke masyarakat desa yang mempunyai kapal. Arya menelpon bung Alo dengan telepon satelit untuk bertanya apakah kapalnya dapat kami gunakan sampai Dobo atau tidak. Sedangkan aku bersama Fajar mencari kapal ke dermaga.
Bersama Fajar, aku berjalan sampai dermaga nelayan dimana kapal besar tertambat dengan harapan ada kapal yang dapat kami tumpangi sampai ke Dobo malam ini atau besok. Sesampainya disana, kami bertanya kepada seorang nelayan yang terlihat seperti awak salah satu kapal di dermaga. Ternyata, kapal-kapal itu tidak akan singgah di Dobo karena akan berlayar ke laut lepas untuk memancing. Dengan perasaan kecewa, kami melanjutkan perjalanan ke dermaga selanjutnya.
Sesampainya di depan dermaga, kami melihat sebuah rumah panggung yang cukup besar. Didepan rumah itu terlihat beberapa orang wanita yang sedang memasak dan mengurus anaknya. Dan yang cukup menarik perhatian kami saat itu adalah di depan rumah itu terparkir sebuah motor polisi. “Mungkin ini pak Luthfi” pikirku. Pak Luthfi adalah teman kami yang bekerja sebagai polisi di desa Tabarfane. Kami berkenalan dengannya sesaat sebelum berangkat ke Rebi dengan menggunakan kapal cepat.
Entah mengapa, hal itu membuatku semangat. Kamipun berjalan menuju dermaga itu. Melewati lorong diantara rumah panggung yang dasarnya sudah air laut. Pijakan di lorong itu adalah kayu yang disusun memanjang dan beberapa diantaranya sudah berlubang. Sedikit saja tidak fokus, kami dapat tercebur ke dalam air laut.
Kami berjalan sampai ke belakang rumah panggung. Disana, terlihat beberapa nelayan yang sedang menimbang hasil tangkapannya. Kami memutuskan untuk bertanya tentang kapal ke nelayan yang berada di tempat itu. Sesampainya di pintu masuk, tiba-tiba dari dalam seseorang berdiri dan memanggil kami. Kami terkejut saat melihatnya.
Ternyata ia pak Luthfi, orang yang kami cari sejak sampai di desa ini selain ibu sekretaris desa. Senang sekali bertemu orang yang kami kenal. Kami pun masuk ke dalam tempat itu. Ada banyak nelayan disana. Di tempat itu sedang diadakan penimbangan hasil tangkapan berupa telur ikan terbang yang merupakan komoditas utama desa ini. Terdapat berkarung-karung telur ikan terbang yang akan dijual ke luar pulau Aru. Tempat ini dimiliki oleh seseorang yang namanya cukup sering kami dengar, yaitu pak Haji Tata, seorang pengusaha bugis yang sukses.
Sesampainya di dalam, kami dipersilakan duduk oleh pak Luthfi. Kami pun menceritakan masalah yang sedang kami hadapi saat ini. Pak Luthfi menawarkan bantuan untuk mencarikan kapal ke Dobo setelah pekerjaan di tempat penimbangan selesai.
Setelah berpamitan, kami pergi meninggalkan rumah tersebut untuk kembali ke rumah bu sekdes. Ditengah perjalanan, kami bertemu dengan Darien dan Jihan yang sedang berjalan ke arah kami. Kata mereka, kapal bung Alo tidak dapat digunakan untuk pergi ke Dobo. “Ah sudahlah” batinku. Lalu, kami pun menceritakan kalau sedang ada penimbangan telur ikan di rumah yang tadi. Mereka tertarik dan akhirnya kami antar kembali kesana untuk melihat.
Saat kembali ke sana, ternyata pekerjaan pak Luthfi sudah selesai. Ia pun mengajak kami untuk pergi mencari kapal ke dermaga.
Pak Luthfi mengantar kami sampai ke sebuah dermaga yang terisi banyak kapal besar, yang biasa digunakan untuk memancing telur ikan. Ia berbincang dengan kapten salah satu kapal yang akan berangkat ke Dobo besok pagi. Setelah menceritakan keadaan , kapten mempersilakan kami untuk ikut besok. Dengan biaya hanya bayar rokok saja. Mendengar berita itu, aku senang sekali. Akhirnya kami mendapatkan kepastian untuk melanjutkan perjalanan. Kami pun kembali ke rumah bu sekdes untuk memberitahu berita yang menyenangkan ini kepada ekspeditor yang lain.
Sesampainya disana, kami mengabari bu sekdes dan ekspeditor yang lain. Kami pun mulai membereskan barang bawaan yang kami tumpuk di depan rumah bu sek untuk dimasukkan ke dalam rumah. Bu sekdes mempersilakan kami untuk bermalam di rumahnya. Barang bawaan kami taruh di ruang depan, di tempat yang ada TVnya. Dalam bayanganku, malam ini akan kami habiskan dengan menonton final piala dunia di rumah ini. Sampai beberapa saat kemudian Arya datang dan membawa berita yang menggemparkan..
“Kita dapet kapal berangkat hari ini!” sahutnya. Kami terkejut, lalu bertanya “kapan berangkatnya?” lalu jawabannya “Sekarang‼”. Kami pun semakin terkejut. Bu sekdes terlihat sedikit terkejut juga saat mendengar berita kami akan pergi lagi, tidak jadi bermalam di rumahnya malam ini. Semenit yang lalu, kami baru merapikan barang untuk menginap malam ini. Sekarang, kami harus bersiap lagi untuk berangkat.
Carrier kembali kami angkat, pelampung kembali kami bawa, dan sepatu kembali kami pakai untuk melanjutkan perjalanan. Lima menit kemudian kami sudah siap untuk kembali mengarungi lautan Aru.
Selanjutnya, aku bersama Fajar kembali ke rumah pak haji Tata untuk memberitahu pak Luthfi kalau kami berangkat hari ini. Di tengah perjalanan, kami bertemu pak Luthfi. Ia terlihat berbeda sejak terakhir kami bertemu. Sore itu, ia sedang berkeliling santai menggunakan sepeda dan celana pendeknya. Tidak seperti tadi saat berpakaian polisi.
Kami memberitahu berita keberangkatan kami kepada pak Luthfi. Ia turut senang, lalu ikut mengantar kami ke dermaga.
Dalam perjalanan ke dermaga, kami bertemu dengan ekspeditor lainnya yang diantar oleh bu sekdes. Kami pun bergabung dengan yang lain.
Kali ini, kapal yang kami gunakan ukurannya kurang lebih sama dengan kapal bung Alo. Tetapi bedanya, kapal ini sudah penuh dengan muatan berupa kayu yang akan diantar ke Dobo. Kami pun menaiki kapal dan duduk di atas ruang mesin. Hanya tempat itu yang bisa kami tempati karena bagian geladak sampai haluan kapal telah terisi penuh dengan gelonggongan kayu.
Sore itu kapal bergerak perlahan saat meninggalkan dermaga Tabarfane. Bu sekdes dan pak Luthfi terlihat disana, melambaikan tangan, melepas kepergian kami. Semburat langit senja menemani kami saat perlahan kapal menjauh dari dermaga, melihat pemandangan desa yang semakin kecil. Kala itu, langit begitu cerah dan bersih, tidak seperti di kota besar. Bulan dan bintang mulai menampakkan rupanya, menggantikan matahari yang sedang terbit di belahan bumi lain. Sungguh, pemandangan yang sangat indah.
Rasa lelah yang kami rasakan terbayar sudah saat kapal mulai berlayar. Tawa dan ceria mulai kembali pada raut muka yang kesal, setelah apa yang kami lalui beberapa hari ke belakang.
Malam itu kami habiskan diatas kapal. Ditengah lautan luas, hanya suara kapal dan hembusan angin laut yang menemani. Langit kala itu cerah tanpa awan. Ribuan bintang ditemani bulan sabit yang terang menjadi pemandangan yang tak terlupakan.
Lima jam kemudian, terangnya ibukota mulai terlihat. Pelabuhan Dobo saat itu cukup ramai sehingga kapal harus berputar-putar dulu untuk mencari tempat berlabuh. Setelah beberapa saat, sampailah kami di dermaga yang ternyata jauh lebih tinggi daripada kapal sehingga kami harus memanjat tiang dermaga.
“Pasti ada tangga” pikirku. Ternyata, setelah melihat tiang yang harus dipanjat, tidak ada tangga sama sekali. Pijakan yang ada hanyalah besi tua sisa pembangunan dermaga. Semua orang bingung dan panik karena jarak antara pijakan dan permukaan dermaga cukup jauh, sehingga harus ditarik oleh awak kapal yang sudah sampai diatas duluan. Aku yakin ada waktu beberapa saat seluruh badanku tidak berpijak saat ditarik oleh beberapa orang diatas, rasanya kaya terbang!
Saat semua sudah sampai di permukaan dermaga, hujan tiba-tiba turun sehingga kami harus bergegas pergi untuk mencari tempat berteduh. Dan tentunya, tempat yang kami tuju adalah mako pelabuhan. Disana, kami bertemu pak Ris dan meminta izin untuk menginap di sana. Ternyata ruangan kosong yang tersedia hanya ruang sidang sehingga malam itu kami tidur di ruang sidang. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan 🙂