Hari Ketiga [Sinar Harapan-Mako-Pelabuhan]

Kamis, 12 Juli 2018

Entah apa yang membangunkanku pagi ini, Mungkin suara alarm hp teman-temanku yang selalu bersahutan tiap kami menginap, walaupun akhirnya alarmku dan mereka hanya menyala untuk dimatikan yang lain. Berulang-ulang, sampai seseorang memutuskan untuk membangunkan yang lain.

Pagi ini, Darien membangunkan aku dan Fajar lebih cepat dari yang lain. Kami harus bergegas ke mako pelabuhan untuk memastikan apakah hari ini kami akan berlayar lagi ke Tabarfane.

Pukul setengah tujuh pagi kami menyetop angkot, naik dan pergi meninggalkan hotel. Sepanjang perjalanan kami disuguhi musik yang playlistnya tidak pernah ganti, bahkan kami sampai hafal lagunya. Hal yang cukup menarik adalah hampir semua angkot yang kami naiki atau lewati juga menyetel playlist yang sama.

Beberapa saat kemudian, angkot sudah melewati pasar rakyat jargaria yang artinya sebentar lagi kami akan sampai di mako pelabuhan. Kami diturunkan di persimpangan, tidak jauh dari pelabuhan yang ada di ujung jalan. Untuk urusan bayar angkot disini sangat mudah. Tidak peduli sejauh apa jarak yang ditempuh, bayarnya tetap sama yaitu 3000 perak.

Apel pagi sebentar lagi dimulai. Terlihat dari banyaknya anggota polisi berpakaian rapih yang sedang berbaris di depan mako pelabuhan. Bendera merah putih telah dikibarkan dan pak kapolsek sudah ditempat, bersiap memimpin apel pagi itu.

Dari kejauhan kami dapat melihat pak Eki sedang asyik mengobrol dengan pak Fajar, kapolsek mako pelabuhan. Ia pun melihat kami lalu ia memberi isyarat untuk mendekat.

Ternyata hari ini kapal speedboat polres masih rusak dan cuaca tidak memungkinkan bagi kami untuk berlayar lagi dengan kapal yang kemarin. Kesal, itulah reaksi pertamaku, mungkin Fajar juga. Berarti kami akan menghabiskan satu hari lagi di Dobo, tanpa ada pergerakan.

Pak Eki pun memberi saran agar kami pergi ke pelabuhan, dan mengecek jadwal kapal cepat. Kami pun bergegas pergi ke pelabuhan untuk mencari informasi.

Jarak dari mako ke pelabuhan tidak terlalu jauh, dapat ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira 15 menit. Sepanjang jalan, kami melewati pasar tumpah yang buka setiap pagi. Disana dijual kebutuhan sehari-hari dan banyak hasil tangkapan laut segar, mulai dari berbagai jenis ikan, kepiting, sampai kerang-kerangan. Aroma khas tangkapan laut menemani kami sampai pelabuhan.

Sesampainya di pelabuhan, kami melihat banyak kapal penumpang yang akan mengantar penumpang dari Dobo ke daerah tujuan mereka di seluruh penjuru kepulauan Aru. Dekat dengan pelabuhan utama, kami mendapati kapal penyebrangan yang sudah karam.

20180712_074454
Suasana pelabuhan Dobo
20180712_080000
Karam

 

Kami pun mencari loket untuk mencari info tentang pemesanan tiket kapal ke Rebi atau Tabarfane. Ternyata, loket baru buka satu jam lagi. Untuk mengisi waktu, kami pun kembali ke mako untuk sarapan. Menu nasi kuning dan ikan asin menemani santapan pagi kali itu. Setelah kenyang, kami pun kembali ke pelabuhan.

Tiket ke Tabarfane ternyata cukup murah, yaitu 40000 sekali perjalanan. Sementara, perjalanan ke Rebi lebih murah lagi, tetapi belum tentu ada karena pelabuhan Rebi tidak termasuk dalam daftar tujuan. Kami memberikan kontak yang dapat dihubungi oleh kantor pelayaran, jika perjalanan ke Rebi akan dibuka. Mereka berjanji akan mengabari siang ini.

Berbekal informasi yang sudah didapatkan, kami pun kembali ke Sinar Harapan. Membahas bagaimana langkah selanjutnya untuk sampai ke desa tujuan. Kami memutuskan untuk menunggu sampai siang.

Di kamar hotel itu, kami semua menunggu telpon yang tak kunjung datang. Tak sabar, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke pelabuhan. Arya dan Basil berangkat, untuk memastikan. Sementara kami yang di hotel hanya menunggu dengan gelisah, karena dari jadwal, kami telah terlambat dua hari.  Mada, Jihan dan Gita pergi ke pantai dekat hotel untuk refreshing.

Arya menelpon. Ternyata, pelayaran ke Rebi tidak ada. Yang tersedia hanyalah pelayaran ke Lor-lor esok hari tetapi dapat singgah sebentar di sebrang desa Rebi untuk dijemput perahu yang lebih kecil. Cukup menggembirakan karena sudah mendapatkan kepastian keberangkatan.

Sore itu kami semua berangkat ke pelabuhan untuk membeli tiket ke Lor-Lor. Dengan perasaan senang kami pergi.

Alangkah kagetnya saat kantor pelayaran memberitahu kami bahwa tiket yang tersisa tinggal dua. Ekspresi senang berubah menjadi pucat, kesal, dan bingung karena perjalanan selanjutnya baru berangkat tiga hari lagi. Berbagai cara sudah ditanyakan, apakah kami masih mungkin untuk berlayar esok hari. Tetapi apadaya, kantor pelayaran tak menerima.

Kecewa. Apakah mungkin kami pulang dengan tangan hampa? Dengan tak percaya, kami beranjak pulang. Namun tiba-tiba, pertolongan datang. Kapten kapal menghampiri kami dan mengabari kalo besok kami boleh ikut dalam kapalnya. “Bayar rokok saja” ungkapnya, setengah bercanda. Tak lupa, kami meminta kontak untuk menghubunginya esok pagi.

Kami pulang dengan rasa bahagia. Kepastian akan kelanjutan perjalanan membuat kami tenang. Alhamdulillaaah!

Makan malam kali itu ditemani oleh santapan padang yang ketimuran, karena menu yang disajikan ikan kuah kuning khas Indonesia Timur. Pokonya, unik deh 🙂

Kembali ke hotel, kami pun tidur. Tak terlalu larut, karena esok akan menjadi hari yang panjang. Perjalanan 7 jam mengarungi lautan aru sudah menanti.

Sampai jumpa di tulisan berikutnya!

 

 

 

Hari Kedua [Dobo-Pulau Babi-Dobo]

Rabu, 11 Juli 2018

Kapal speedboat polres mulai berangkat mengitari pulau Dobo, melewati kapal-kapal yang sedang berlabuh lalu mengebut melewati ombak, menjauh dari daratan. Lajunya sangat cepat sampai cipratan air laut terasa seperti hujan lokal di kapal. Saat itu ombak cukup besar.

DSCF1859.JPG
Speedboat polres, keluar dari pelabuhan Dobo. Pak Eki duduk di sebelah saya (tapi di fotonya backlight)

Barang-barang yang asalnya diluar kami masukkan ke tempat menyimpan cadangan bahan bakar agar tidak basah. Kami duduk di kabin bersama pak Eki. Sedangkan pak polisi lain duduk di ujung depan kapal dua polisi lain di belakang kami dan seorang polisi memegang kemudi. Seru! seperti dikawal rasanya..

Derasnya air laut yang masuk dan kabin yang bocor membuat beberapa tas kami basah. Untung saja barang-barang sudah kami bungkus dengan plastik tambahan.

Di kapal itu, saya hanya memandang kearah laut lepas dan mendokumentasikan perjalanan. Terkadang kami berbincang dengan para polisi yang ternyata asik diajak ngobrol. Beberapa saat kemudian, salah satu polisi yang duduk dibagian haluan teriak dan memberitahu kapten untuk berbelok tajam karena ternyata di depan ada kapal yang lewat. Saat saya melihat kapal itu, para awak kapal sedang berlari ketakutan karena dikira kami akan menabrak kapal mereka.

Kapten langsung membanting stir kearah kanan, menghindari tabrakan. Pak polisi yang tadi duduk di depan tidak melihat kapal itu karena ia malah duduk membelakangi arah depan. Mungkin karena semburan ombak yang terlalu deras.

Kami sangat terkejut karena itu baru awal perjalanan. Para polisi terlihat biasa saja, bahkan tertawa-tawa melihat awak kapal yang hampir ditabrak tadi berlarian. Hal itu membuat saya ikut tertawa juga, padahal saya masih terguncang dengan kejadian itu.

Satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai diujung pulau Dobo dan sudah di sebrang pulau babi. Saat itu ombak sangat besar datang dari segala penjuru. Angin kencang dan awan gelap menutup sinar matahari, menutup kemungkinan kami untuk melanjutkan perjalanan. Kapten kapal tidak berani untuk melaju lagi dan memutuskan untuk menepi dulu sampai ombak reda.

Saya pun mabuk laut karena kapal bergoyang dan berguncang ke segala arah. Untung saja kapal segera menepi sehingga mabuk laut tidak terasa lagi.

Kami menepi di pantai tak bernama, di ujung pulau Dobo yang tidak berpenghuni. Pantai itu berbatasan dengan hutan yang hanya berjarak sekitar 15 meter dari bibir pantai dan berpasir putih bersih. Di pantai itu banyak sekali kelomang, atau dalam bahasa aru mereka sebut kalumang.

Sesampainya disana, kami pun duduk di atas batang pohon kelapa yang sudah tumbang dan menikmati santap siang berupa nasi ikan yang dibeli dekat mako pelabuhan. Di kejauhan kami melihat laut yang berwarna putih, menandakan ombak besar yang sangat berbahaya jika kami lanjut melaut.

Kami menunggu disana tanpa tahu kapan akan melanjutkan perjalanan. Beberapa polisi berbincang dan bersenda gurau dibawah pohon kelapa. Sementara yang lain jalan jalan sepanjang garis pantai. Sedangkan saya dan fajar hanya duduk di tempat yang sama sejak makan, menikmati deburan ombak dan desiran pasir di pantai-yang rasanya milik sendiri.

Tiba-tiba hujan turun dan lalu kami bergegas untuk masuk kedalam kapal. Kapten memutuskan untuk putar balik ke dobo karena ombak di sebrang masih terlalu berbahaya untuk dilewati, sehingga besok mungkin akan dicoba lagi. Ya sudahlah, pikirku. Mungkin hari ini bukan hari yang tepat untuk pergi ke Tabarfane.

Kapal kembali melaju dengan cepat melewati ombak besar. Karena mabuk laut, saya pun memaksakan diri untuk tidur.

Saya terbangun lagi saat kapal sudah dekat dengan pelabuhan Dobo. Cuaca kembali cerah, tidak semengerikan pemandangan satu jam yang lalu. Saat kapal sudah bersandar, kami kembali ke darat dengan cara yang sama seperi saat kami naik, yaitu dengan melewati beberapa sampan.

Kami pun kembali ke mako dan pak Eki menghubungi pak Anto untuk mengantarkan kami kembali ke sinar harapan, dimana tim besar sudah disana.

Ternyata mobil pak Anto sedang digunakan sehingga kami harus menggunakan angkot untuk pergi. Sebelum pergi, kami menitipkan pelampung di mako dan pamit.

Sesampai di sinar harapan, kami akhirnya bertemu kembali dengan tim besar. Rasanya cukup senang melihat wajah-wajah yang familiar setelah dua hari tidak berjumpa. Istilahnya, kembali ke zona nyaman.

Disana saya mandi dan berganti pakaian karena pakaian saya basah saat perjalanan siang itu. Setelah itu saya dan Fajar menceritakan pengalaman keren selama kami berpisah dengan tim besar. Saling tukar cerita, pengalaman mereka di Ambon pun tak kalah menarik.

Malam harinya, kami mencari makan sampai ke lapangan Dobo. Disana kami menemukan warung jawa yg menjual sate dan tahu tek. Kami pun makan lalu setelah itu jalan kembali ke sinar harapan. Di jalan pulang, kami bertemu dengan banyak anak-anak yang berpakaian serba rapih. Ternyata hari itu sedang ada acara dari gereja.

Kami pun kembali ke sinar harapan dan istirahat, melepas penat dari segala urusan ekspedisi yang sangat dinamis ini.

 

Hari Pertama [Ambon-Dobo]

Selasa, 10 Juli 2018

Cuaca mendung menuju hujan menyambut kami saat landing di bandara Pattimura, Ambon. Sesampainya disini, kami bersembilan terbagi menjadi dua tim, yaitu tim advance dan tim besar. Saya sama fajar, yang lain sisanya. Di ujung koridor terminal bandara, kami berpisah. Tim besar kearah luar bandara, sementara tim advance mengurus penerbangan transit ke Dobo. Cukup sedih meninggalkan teman-teman , tetapi kami berdua harus berangkat lebih dulu untuk mengurus perizinan agar operasi lancar.

Hal selanjutnya yang kami lakukan adalah sholat, check in dan menunggu di terminal keberangkatan. Beberapa menit menunggu, fajar dikabari oleh pak Adolf Bormosa, Kapolres Dobo yang ternyata juga sedang di bandara Ambon. Kamipun bertemu, dan hal pertama yang ku sadari adalah orang ini mirip polisi di film film india. Badannya tinggi besar, dengan kumis tebal dan paras timur yang kental. Setelah berbincang sedikit, ternyata beliau juga sedang menunggu flight ke Dobo yang berarti kami akan berada dalam pesawat yang sama.

Setelah menunggu sekitar 2 jam karena delay, akhirnya kami dipersilakan untuk jalan menuju pesawat. Pesawat yang kami tumpangi ukurannya cukup kecil, bermesin twin turboprop yang biasanya melayani trayek ke daerah terpencil. Kami duduk di tengah, dengan pemandangan sayap pesawat dan tentunya propeller yang cukup berisik. Pak Bormosa duduk dibelakang pesawat, sempat memberikan salam saat Fajar melihatnya seperti kawan yang baru bertemu setelah sekian lama.

DSCF1734
Pesawat Wings Air Ambon-Dobo yang kami tumpangi

Penerbangan kali ini terasa lebih kasar daripada penerbangan sebelumnya. Tetapi, semua itu tergantikan dengan pemandangan laut luas yang disuguhkan sepanjang perjalanan. Perahu nelayan, pulau tak berpenghuni dengan air berwarna biru-hijau muda yang bening terlihat dari ketinggian. Terkadang pemandangan kebawah tak terlihat dan digantikan dengan samudra awan yang terhampar tanpa batas, cerah dengan sinar mentari pagi yang hangat.

Sekitar satu setengah jam berlalu, daratan Dobo sudah terlihat. Landing terasa cukup keras, mungkin karena pesawat kecil. Cuaca di bandara Dobo saat itu sedang gerimis , sehingga saat keluar pesawat kami bergegas menuju terminal bandara yang jaraknya cukup jauh. Meskipun cuaca kurang baik, tapi saya senang sekali karena akhirnya kami sampai di kepulauan Aru.

20180710_111035.jpg
Sampai di bandara Dobo!

Saat berjalan menuju tempat pengambilan barang, terlihat pak Bormosa tengah berdiri didepan gedung yang sepertinya digunakan untuk menerima tamu penting. Kemudian, ia memanggil kami untuk bertemu lalu kami diarahkan menuju bangunan tersebut yang artinya kami tidak usah melewati terminal yang biasa dilewati penumpang lain. Katanya, kargo yang kami bawa akan diambilkan oleh anggotanya.

Keluar dari Gedung tersebut, ternyata pak Bormosa sudah mempersiapkan mobil untuk kami. Rasanya senang sekali, karena rencananya kami akan menggunakan angkot selepas dari bandara. Dibalik kemudi mobil tersebut adalah pak Anto, seorang anggota kepolisian Dobo. Orangnya ramah dan asli Dobo. Kami pun diantar ke polres Dobo yang jaraknya sekitar sepuluh menit dari bandara.

Di polres Dobo, kami bertemu pak Paulus yang membawakan kargo kami dari bandara. Orangnya baik , berperawakan tinggi besar. Ia memberitahu kami kalau ia kenal dengan ibu pendeta di Rebi. Selanjutnya, kami diantar ke ruangan pak Bormosa. Ruangannya besar, dingin, seperti ruangan bos pada umumnya. Di ruangan itu terdapat peta besar kepulauan Aru. Beberapa menit kemudian, pak Bormosa datang dan berbincang ramah dengan kami, menanyakan tujuan dan meminta berkas yang diperlukan. Pertemuan berlangsung cukup cepat, sekitar 20 menit.

Hal selanjutnya yang kami lakukan adalah mengurus izin. Menggunakan mobil yang dibawa pak Anto, kami berkunjung ke RSUD Dobo dan kantor Kabupaten. Sehabis itu, kami memutuskan untuk mencari penginapan ke hotel Sinar Harapan. Dalam perjalanan ke hotel, kami ingin mencoba baso rusa tetapi sayangnya sudah habis.

Setelah mendapat kamar untuk menginap, kami lanjutkan perjalanan untuk mengurus izin ke dinas kesehatan dan meminjam pelampung ke BNPB. Semua urusan perizinan selesai jauh lebih cepat dari dugaan kami. Terimakasih polres Dobo!

Dari BNPB, kami lanjutkan ke pelabuhan warga yang berada di dalam pasar untuk mencari kapal ke Tabarfane. Pak Anto berbincang dengan beberapa pemilik kapal disana untuk mencari info kapan kapal berangkat. Dari info yang pak Anto dapatkan, kapal-kapal itu berangkat besok pagi untuk mengantar barang dan penumpang dari kapal pelni.

1531208656241
Tawar-menawar dengan nelayan, yang polisi baju ijo itu Pak Anto

Sudah tengah hari dan kelaparan, kami pun memutuskan untuk mencari makan. Pak Anto mengantar kami ke warung makan Jawa yang letaknya tidak terlalu jauh dari hotel. Sesudah makan, tiba-tiba terjadi hujan yang sangat lebat. Kata pak Anto, cuaca di kepulauan Aru memang cepat sekali berubah. Kamipun masuk ke mobil dan diantar ke hotel, lalu berpisah dengan pak Anto.

Kamar hotel yang kami tempati cukup besar, bahkan terlalu besar untuk dua orang. Kamarnya nyaman meskipun banyak nyamuk. Setelah perjalanan yang melelahkan akhirnya kami dapat beristirahat. Setelah mandi, kami nonton tv dan tidur sampai malam.

Setelah bangun kami pun mencari makan keluar hotel dan menemukan warung nasi uduk disebrang hotel. Saat makan, tiba-tiba Fajar ditelpon pak Anto. Katanya, ia baru dari pelabuhan dan sekarang sudah didepan hotel. Kami pun bergegas kembali lagi ke hotel. Pak Anto memberitahu kami kalau kapal yang tadi dikontak akan berangkat besok jam delapan pagi. Ia juga memberitahu kalau saudaranya ada yang baru meninggal dan akan dikuburkan besok paginya. Lalu, ia pun pergi lagi.

Kembali ke kamar hotel, kami bersiap-siap untuk tidur lebih awal karena ingin bangun malam untuk menonton piala dunia. Namun tiba-tiba, Fajar ditelpon pak Anto. Katanya, ada anggota polisi lain yang akan datang ke hotel untuk membicarakan kapal yang akan digunakan untuk ke Tabarfane. Persis setelah menutup telpon, pintu kamar kami diketuk dan saat dibuka sudah ada empat orang polisi dengan wajah sangar. Kami pun mempersilakan mereka untuk masuk dan selanjutnya mereka memberitahu kalau polres dapat membantu transportasi kami ke Tabarfane dengan menggunakan kapal speed Polres. Mereka pun dapat memberikan tumpangan selanjutnya ke Rebi. Sungguh berita yang sangat menyenangkan. Pertemuan diakhiri dengan kata deal. Sehabis berjabat tangan, mereka kembali pergi ke polres.

Setelah itu, kami pun tidur. Hari ini saya sangat bahagia karena bertemu dengan banyak orang baik yang membantu kami. Sekali lagi, terimakasih polres Dobo!

Ini Baru Ekspedisi!

Rebi – Laut Arafuru – Tabarfane – Laut Arafuru – Dobo

Pukul 5 pagi, alarm HP membangunkanku dari mimpi yang sama seperti hari kemarin, yaitu bermimpi tidur di kamar rumahku di Bandung. Mungkin, pikiranku belum terbiasa untuk beristirahat di tempat yang sangat jauh dari rumah.

Hari itu hari ketiga kami di desa Rebi. Hujan cukup deras sejak pukul 3 pagi membuat bangun tidur menjadi hal yang cukup sulit untuk dilakukan. Setelah shalat subuh, aku kembali tidur karena desa masih gelap gulita. Maklum, tempat itu belum tersambung listrik 24 jam.

Denting lonceng gereja pagi itu membuatku terbangun lagi. Hari itu hari minggu, hari dimana masyarakat kampung protestan melakukan ibadah rutin. Diluar masih hujan, tetapi sudah tidak terlalu deras. Langit kala itu gelap, menutupi matahari pagi dan menciptakan suasana yang membuatku tidak ingin beranjak dari rumah.

Untuk mengisi waktu, hal selanjutnya yang kulakukan adalah membaca buku “Murder On The Orient Express” yang akhirnya tamat sejak tiga bulan lalu. Saat sampai di lembar terakhir, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Berarti, sudah tiga jam aku membaca.

Setelah itu, aku pergi ke ruang makan. Disana sudah tersaji makanan yang dimasak oleh Darien dan kawan-kawan yang mendapat piket memasak hari itu. Alunan syahdu nyanyian ibadah dari gereja menemani kami bersantap pada pagi itu.

Setelah ibadah jemaat dewasa selesai, kami memulai rencana kami hari itu. Rencana kami adalah kembali ke ibukota. Hal ini harus kami lakukan karena ada masalah dengan perizinan. Rasanya cukup sedih karena baru tiga hari kami menetap di desa Rebi. Rencana hari itu adalah pergi ke Tabarfane, cari kapal, lalu pergi ke ibukota pulau-pulau aru, Dobo.

Ternyata, kapal baru siap pada sekitar pukul sebelas. Kapal yang akan mengantarkan kami ke Tabarfane adalah kapal bung Alo, seorang mantri di desa Rebi. Ukurannya kapalnya cukup besar, kira-kira dapat memuat sekitar dua puluh orang. Terlihat dari luar kapal itu sudah cukup tua. Jalannya sangat lambat jika dibandingkan speedboat polres yang aku dan Fajar gunakan tiga hari yang lalu. Dengan kapal ini, perjalanan sampai Tabarfane kira-kira memakan waktu 3-4 jam.

Perjalanan saat itu terasa lebih damai. Mabuk lautku sudah tidak terasa, mungkin karena seteguk air laut yang kuminum sebelum kapal itu beranjak pergi dari pantai Rebi. Lautan Aru kali itu cukup bersahabat karena ombaknya tidak terlalu besar sehingga kapal terasa lebih stabil. Hembusan angin laut disertai suara mesin diesel yang memecah keheningan menemani kami sepanjang perjalanan. Serta, pemandangan lautan tak berujung di sisi barat dan barisan kepulauan Aru di sisi timur menjadi pemanis yang sempurna kala itu.

Aktifitas para ekspeditor saat itu berbeda beda. Arya yang duduk didepan terkadang sibuk dengan kameranya, Basil dan Abdur duduk di samping kiri sambil memandang laut, Githa ditengah mendengar musik dari HPnya, Mada tertidur di sisi kanan, Jihan di kabin tertidur juga, dan Fajar di kursi belakang, duduk bersama kak Yoga sang kapten kapal serta kak Kule dan kak Ian. Sedangkan aku duduk didalam kabin dengan pelampung sebagai alas dan carrier sebagai bantal untuk berbaring. Terkadang, saat bosan aku mengeluarkan kamera untuk mendokumentasikan perjalanan.

Dua jam berlalu, desa Tabarfane masih belum terlihat. Pemandangan kearah kepulauan Aru saat itu hanya pantai dan hutan belantara. Karena tidak ada kegiatan lain yang dapat dilakukan, bosan dan kantuk pun terasa. Semilir angin laut membuat rasa kantuk semakin kuat. Didalam kabin itu, akupun tertidur.

“Jek bangun udah deket” sahut salah seorang ekspeditor saat kapal sudah sampai di laut seberang desa Tabarfane. Aku pun terbangun disambut oleh pemandangan desa Tabarfane yang sudah didepan mata. Saat itu langit sudah tidak mendung dan cuaca cukup cerah.

Desa Tabarfane terlihat jauh lebih ramai daripada desa Rebi. Banyak kapal nelayan yang singgah disini, mulai dari yang sebesar kapal cepat sampai sekecil sampan. Dermaganya banyak dan terisi penuh dengan kapal yang tertambat disana. Letak desanya berhadapan dengan laut, tidak seperti Rebi yang berada di muara sungai. Laut disini jernih sampai kami dapat melihat ubur-ubur yang berenang melewati kapal.

Sesampainya di dermaga, kami diantar oleh kak Yoga untuk bertemu dengan ibu sekretaris desa Tabarfane. Kondisi desa Tabarfane sangat rapih dan bersih seperti desa Rebi. Bedanya disini sudah ada pasokan listrik 24 jam dari pemerintah. Tetapi sayangnya disini tidak ada sinyal telepon sama sekali.

Kami diantar sampai rumah ibu sekretaris desa. Oleh ibu sekretaris, kami disambut dengan ramah. Disana, kami mengurus izin kecamatan yang harusnya sudah kami urus beberapa hari yang lalu.

Setelah urusan perizinan selesai, kami pun mencari kapal yang bisa digunakan untuk pergi ke Dobo. Ibu sekretaris desa ikut membantu dengan bertanya ke masyarakat desa yang mempunyai kapal. Arya menelpon bung Alo dengan telepon satelit untuk bertanya apakah kapalnya dapat kami gunakan sampai Dobo atau tidak. Sedangkan aku bersama Fajar mencari kapal ke dermaga.

Bersama Fajar, aku berjalan sampai dermaga nelayan dimana kapal besar tertambat dengan harapan ada kapal yang dapat kami tumpangi sampai ke Dobo malam ini atau besok. Sesampainya disana, kami bertanya kepada seorang nelayan yang terlihat seperti awak salah satu kapal di dermaga. Ternyata, kapal-kapal itu tidak akan singgah di Dobo karena akan berlayar ke laut lepas untuk memancing. Dengan perasaan kecewa, kami melanjutkan perjalanan ke dermaga selanjutnya.

Sesampainya di depan dermaga, kami melihat sebuah rumah panggung yang cukup besar. Didepan rumah itu terlihat beberapa orang wanita yang sedang memasak dan mengurus anaknya. Dan yang cukup menarik perhatian kami saat itu adalah di depan rumah itu terparkir sebuah motor polisi. “Mungkin ini pak Luthfi” pikirku. Pak Luthfi adalah teman kami yang bekerja sebagai polisi di desa Tabarfane. Kami berkenalan dengannya sesaat sebelum berangkat ke Rebi dengan menggunakan kapal cepat.

Entah mengapa, hal itu membuatku semangat. Kamipun berjalan menuju dermaga itu. Melewati lorong diantara rumah panggung yang dasarnya sudah air laut. Pijakan di lorong itu adalah kayu  yang disusun memanjang dan beberapa diantaranya sudah berlubang. Sedikit saja tidak fokus, kami dapat tercebur ke dalam air laut.

Kami berjalan sampai ke belakang rumah panggung. Disana, terlihat beberapa nelayan yang sedang menimbang hasil tangkapannya. Kami memutuskan untuk bertanya tentang kapal ke nelayan yang berada di tempat itu. Sesampainya di pintu masuk, tiba-tiba dari dalam seseorang berdiri dan memanggil kami. Kami terkejut saat melihatnya.

Ternyata ia pak Luthfi, orang yang kami cari sejak sampai di desa ini selain ibu sekretaris desa. Senang sekali bertemu orang yang kami kenal. Kami pun masuk ke dalam tempat itu. Ada banyak nelayan disana. Di tempat itu sedang diadakan penimbangan hasil tangkapan berupa telur ikan terbang yang merupakan komoditas utama desa ini. Terdapat berkarung-karung telur ikan terbang yang akan dijual ke luar pulau Aru. Tempat ini dimiliki oleh seseorang yang namanya cukup sering kami dengar, yaitu pak Haji Tata, seorang pengusaha bugis yang sukses.

Sesampainya di dalam, kami dipersilakan duduk oleh pak Luthfi. Kami pun menceritakan masalah yang sedang kami hadapi saat ini. Pak Luthfi menawarkan bantuan untuk mencarikan kapal ke Dobo setelah pekerjaan di tempat penimbangan selesai.

Setelah berpamitan, kami pergi meninggalkan rumah tersebut untuk kembali ke rumah bu sekdes. Ditengah perjalanan, kami bertemu dengan Darien dan Jihan yang sedang berjalan ke arah kami. Kata mereka, kapal bung Alo tidak dapat digunakan untuk pergi ke Dobo. “Ah sudahlah” batinku. Lalu, kami pun menceritakan kalau sedang ada penimbangan telur ikan di rumah yang tadi. Mereka tertarik dan akhirnya kami antar kembali kesana untuk melihat.

Saat kembali ke sana, ternyata pekerjaan pak Luthfi sudah selesai. Ia pun mengajak kami untuk pergi mencari kapal ke dermaga.

Pak Luthfi mengantar kami sampai ke sebuah dermaga yang terisi banyak kapal besar, yang biasa digunakan untuk memancing telur ikan. Ia berbincang dengan kapten salah satu kapal yang akan berangkat ke Dobo besok pagi. Setelah menceritakan keadaan , kapten mempersilakan kami untuk ikut besok. Dengan biaya hanya bayar rokok saja. Mendengar berita itu, aku senang sekali. Akhirnya kami mendapatkan kepastian untuk melanjutkan perjalanan. Kami pun kembali ke rumah bu sekdes untuk memberitahu berita yang menyenangkan ini kepada ekspeditor yang lain.

Sesampainya disana, kami mengabari bu sekdes dan ekspeditor yang lain. Kami pun mulai membereskan barang bawaan yang kami tumpuk di depan rumah bu sek untuk dimasukkan ke dalam rumah. Bu sekdes mempersilakan kami untuk bermalam di rumahnya. Barang bawaan kami taruh di ruang depan, di tempat yang ada TVnya. Dalam bayanganku, malam ini akan kami habiskan dengan menonton final piala dunia di rumah ini. Sampai beberapa saat kemudian Arya datang dan membawa berita yang menggemparkan..

“Kita dapet kapal berangkat hari ini!” sahutnya. Kami terkejut, lalu bertanya “kapan berangkatnya?” lalu jawabannya “Sekarang‼”. Kami pun semakin terkejut. Bu sekdes terlihat sedikit terkejut juga saat mendengar berita kami akan pergi lagi, tidak jadi bermalam di rumahnya malam ini. Semenit yang lalu, kami baru merapikan barang untuk menginap malam ini. Sekarang, kami harus bersiap lagi untuk berangkat.

Carrier kembali kami angkat, pelampung kembali kami bawa, dan sepatu kembali kami pakai untuk melanjutkan perjalanan. Lima menit kemudian kami sudah siap untuk kembali mengarungi lautan Aru.

Selanjutnya, aku bersama Fajar kembali ke rumah pak haji Tata untuk memberitahu pak Luthfi kalau kami berangkat hari ini. Di tengah perjalanan, kami bertemu pak Luthfi. Ia terlihat berbeda sejak terakhir kami bertemu. Sore itu, ia sedang berkeliling santai menggunakan sepeda dan celana pendeknya. Tidak seperti tadi saat berpakaian polisi.

Kami memberitahu berita keberangkatan kami kepada pak Luthfi. Ia turut senang, lalu ikut mengantar kami ke dermaga.

Dalam perjalanan ke dermaga, kami bertemu dengan ekspeditor lainnya yang diantar oleh bu sekdes. Kami pun bergabung dengan yang lain.

Kali ini, kapal yang kami gunakan ukurannya kurang lebih sama dengan kapal bung Alo. Tetapi bedanya, kapal ini sudah penuh dengan muatan berupa kayu yang akan diantar ke Dobo. Kami pun menaiki kapal dan duduk di atas ruang mesin. Hanya tempat itu yang bisa kami tempati karena bagian geladak sampai haluan kapal telah terisi penuh dengan gelonggongan kayu.

Sore itu kapal bergerak perlahan saat meninggalkan dermaga Tabarfane. Bu sekdes dan pak Luthfi terlihat disana, melambaikan tangan, melepas kepergian kami. Semburat langit senja menemani kami saat perlahan kapal menjauh dari dermaga, melihat pemandangan desa yang semakin kecil. Kala itu, langit begitu cerah dan bersih, tidak seperti di kota besar. Bulan dan bintang mulai menampakkan rupanya, menggantikan matahari yang sedang terbit di belahan bumi lain. Sungguh, pemandangan yang sangat indah.

Rasa lelah yang kami rasakan terbayar sudah saat kapal mulai berlayar. Tawa dan ceria mulai kembali pada raut muka yang kesal, setelah apa yang kami lalui beberapa hari ke belakang.

Malam itu kami habiskan diatas kapal. Ditengah lautan luas, hanya suara kapal dan hembusan angin laut yang menemani. Langit kala itu cerah tanpa awan. Ribuan bintang ditemani bulan sabit yang terang menjadi pemandangan yang tak terlupakan.

Lima jam kemudian, terangnya ibukota mulai terlihat. Pelabuhan Dobo saat itu cukup ramai sehingga kapal harus berputar-putar dulu untuk mencari tempat berlabuh. Setelah beberapa saat, sampailah kami di dermaga yang ternyata jauh lebih tinggi daripada kapal sehingga kami harus memanjat tiang dermaga.

“Pasti ada tangga” pikirku. Ternyata, setelah melihat tiang yang harus dipanjat, tidak ada tangga sama sekali. Pijakan yang ada hanyalah besi tua sisa pembangunan dermaga. Semua orang bingung dan panik karena jarak antara pijakan dan permukaan dermaga cukup jauh, sehingga harus ditarik oleh awak kapal yang sudah sampai diatas duluan. Aku yakin ada waktu beberapa saat seluruh badanku tidak berpijak saat ditarik oleh beberapa orang diatas, rasanya kaya terbang!

Saat semua sudah sampai di permukaan dermaga, hujan tiba-tiba turun sehingga kami harus bergegas pergi untuk mencari tempat berteduh. Dan tentunya, tempat yang kami tuju adalah mako pelabuhan. Disana, kami bertemu pak Ris dan meminta izin untuk menginap di sana. Ternyata ruangan kosong yang tersedia hanya ruang sidang sehingga malam itu kami tidur di ruang sidang. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan 🙂

 

 

Ekspedisi Pelita Muda IV : Bumi Jargaria

1150967
Kala itu semburat langit senja menutup hari terakhir kami di desa Rebi. Entah mengapa, meskipun sudah 21 kali menyaksikan pemandangan yang sama, kami tak pernah bosan melihat sang surya tenggelam dalam batas antara langit dan lautan yang perlahan menghilang, meninggalkan gradasi cahaya yang tak pernah sama tiap kami melihatnya.

Dalam beberapa hari kedepan, linimasa wordpressku akan berkisah tentang one-in-a-lifetime experience ku selama 27 hari di bagian timur Indonesia, tepatnya di kepulauan Aru.

Akan kutulis semua cerita dan catatan perjalanan, yang terangkum dalam sebuah mata acara besar : Ekspedisi Pelita Muda IV, Bumi Jargaria.

Dan hal ini kulakukan untuk memenuhi keinginanku (dan mungkin para ekspeditor lainnya) untuk membuka ruang informasi, dan menebar semangat bagi mahasiswa yang selalu ingin keluar dari zona nyaman mereka, untuk melihat Indonesia yang sebenarnya.

 

Ekspedisi, Pelita Muda!

Pelita Muda, Untuk Indonesia!

Waktu

Demi masa

Ada yang bilang kita harus pinter-pinter mengatur waktu

Sesungguhnya bukan kawan,

Bukan manusia yang mengatur

Yang dapat kita lakukan hanyalah berusaha memanfaatkan waktu itu

Semanfaat mungkin

Untuk diri, dan orang lain

Karena pada akhirnya,

Demi masa.